ENIGMA UKHUWAH



“...rahasia kekuatan dibalik ikatan persudaraan dalam islam..
Aku tak mengerti apa-apa, yang ku tahu ikatan persaudaraan ini mampu mengubah dunia, sesuatu yang gelap menjadi terang; yang tersesat mulai terarah; yang bodoh menjadi pandai; dan yang berpaling mulai kembali.”
            Sebuah gubuk kecil berdiri rapuh diantara bangunan kokoh nan tinggi di sekitarnya, bangunan yang berdiri diatas tanah seluas seribu meter persegi ini hanya memiliki satu petak ruangan, didalamnya terdapat tembat tidur ruang tamu sekaligus ruang makan sekaligus dapur,  adapun kotak kecil yang sengaja dibuat sekat di belakang rumah untuk kamar mandi sekaligus sumur dangkal yang hanya bisa digali dengan dana seadanya, oleh seorang kepala keluarga sebagai bentuk tanggung jawab memenuhi kebutuhan keluarganya.
            Pak ali namanya dan istrinya yang bernama bu atih, memiliki delapan orang anak yang tidak lama lagi akan bertambah jadi sembilan, dan akan terus bertambah selama dia masih dalam masa suburnya. Meski hidup dalam keterbatasan mereka memutuskan untuk tidak membatasi kehamilan bu atih, pak ali yakin bahwa setiap anak membawa rezekinya masing-masing, sehingga ia dan istrinya tak perlu takut, selama ia masih bisa berusaha dan bekerja keras, ia yakin anak-anaknya dapat hidup meski dalam keadaan serba terbatas.
            Anak perawannya yang paling besar memilih menikah dan merantau dengan suaminya ke kota lain, anak kedua nya seorang bujangan bekerja di salah satu restoran sebagai seorang tukang cuci piring, anak ketiganya seorang perawan juga memilih bekerja daripada sekolah SMA sebagai SPG disebuah mall, anak perawannya yang ke empat masih mengenyam pendidikan di bangku SMP, anak ke lima seorang bujang memilih belajar agama di salah satu pondok pesantren di kota Tasikmalaya, anak ke enam nya seorang perawan masih duduk di bangku kelas 5 SD, anak ke tujuh nya seorang perawan juga baru saja tahun lalu duduk di kelas satu SD, dan anak ke delapan nya belum genap umur satu tahun dan baru bisa berjalan, namun kini ibu sudah mengandung selama lima bulan dan empat bulan lagi kami akan menyambut adik baru yang akan menambah kehangatan dan keramaian keluarga besar yang tinggal di rumah kecil ini.
...
            Aku, coba tebak aku ini siapa? orang bilang aku sangat mirip dengan ayahku, aku adalah salah satu anak bujang yang dapat dibilang sangat dekat dengan ayahku, meski aku nun jauh disana, aku tetap sangat dekat dengan ayah, aku adalah anak ke lima dari delapan bersaudara itu, Hannan Assidiq itulah namaku, aku anak bujang kedua setelah kakak ku yang kini hanya memilih menjadi seorang tukang cuci piring. Ayah adalah seorang yang sangat aku kagumi, meskipun keluarga kami serba kekurangan tapi ayah selalu mengutamakan pendidikan kami anak-anaknya, minimal sampai pada tingkat SMP, padahal ayah juga masih bisa mengusahakan kakak laki-lakiku dan kakak perempuanku untuk sekolah SMA seperti halnya kakak pertamaku yang meskipun pada akhirnya ia memilih menikah, namun mereka bersikeras untuk berhenti sekolah dan memilih bekerja.
...
Ayahku seorang yang sangat religius, ia selalu mengajak istri dan anak-anaknya salat berjamaah, mengaji, ia juga sangat gemar bercerita tentang kisah-kisah perjuangan rasul dan sahabatnya kepada kami seusai salat magrib setiap harinya, ayah yang selalu menerapkan segala sesuatu yang kami lakukan sehari-hari nya dengan kisah-kisah rasul yang sangat luar biasa, sehingga kami terbiasa dengan cerita-cerita itu dan menjadikan itu sebagai panutan untuk kami terapkan dalam kehidupan.
            Jika aku gambarkan sosok ayah, ia adalah teladan bagiku, ia tak pernah mengeluh apalagi menyerah, dihadapan kami anak-anaknya ia selalu terlihat yang terkuat dan dapat diandalkan, meski begitu kami tetap menyadari bahwa usia ayah tak muda lagi, semakin hari kami melihat ayah hanya bertumbuh semakin tua, dan kami anak-anaknya sangat kasihan padanya, mungkin itulah alasan mengapa kakak perempuan dan kakak laki-lakiku memilih bekerja daripada melanjutkan pendidikannya, meskipun hal itu sama sekali tidak pernah disukai ayahku, ayah lebih suka bermandikan keringat setiap harinya tapi melihat anak-anaknya sekolah dengan baik daripada harus berbagi keringat dan beban dengan mengajak anak-anaknya bekerja, suatu hari aku sempat berbincang dengannya,
“bok ya ayah inginnya anak-anak ayah dapat bermanfaat bagi orang lain,” sambil minum kopi,
“ayah sih inginnya kamu jadi ustad saja nan, ya supaya kehidupan kamu dapat bermanfaat bagi orang lain, karena sejatinya hidup ini bukan melulu tentang harta melainkan bagaimana kamu bisa menjadi penerang bagi saudara-saudara mu nanti.” sambungnya,
aku hanya bisa diam, manggut-manggut, sambil berpikir apa yang seharusnya aku lakukan,
bapak pun melanjutkan pembicaraannya, “jangan terus-terusan jadi orang bodoh, menyerah pada nasib, atau malah menghindar dari kenyataan, namun tak ingin berusaha mengubahnya, kunci nya adalah kerja keras, pantang menyerah, dan tawakal, itu saja,”
...
            Perjalananku masih panjang, kini aku sedang menimba ilmu akhiratku, disebuah pesantren kecil yang berdiri di pinggiran kota Tasikmalaya, kupelajari berbagai hal, baik itu ilmu agama, maupun ilmu pengetahuan umum lainnya, ayah memilihkan tempat ini untukku, selain biaya nya murah, ayah yakin dengan pendidikan agama akan merubahku menjadi pribadi yang lebih religius seperti yang ayah harapkan.
            Pilihan ayah selalu yang terbaik, aku yakin itu, dengan ridhonya aku menjalani pendidikan ku enam tahun lamanya tanpa rasa sesal, keluh, kesah, atau menyerah, keluarga ku yang masih dalam kebodohan membuatku semakin bersemangat untuk menimba ilmu, berharap mengangkat mereka dari kemiskinan dan kebodohan yang mereka alami saat ini,  ibu yang tak tahu apa-apa hanya mengikuti apa saja yang di kehendaki ayah, namun itu lebih baik daripada ia menentang sesuatu yang bahkan dia tidak tahu baik buruknya.
            Aku menikmati setiap hari yang kulalui di pondok ini, hari demi hari, pekan demi pekan, bulan demi bulan, hingga tahun demi tahun aku syukuri perjalanannya, dua tahun berselang adikku mengikuti jejak ku masuk pesantren ini, setelah aku selesai dalam enam tahun menimba ilmu di pondok, adikku yang ke tujuh menyusul kakaknya yang sudah lebih dulu ke sana,  terus begitu sampai adikku yang ke sembilan pun memilih mengikuti jalan juang kami kakak-kakaknya dalam menimba ilmu, kerena ketika satu orang berjuang dalam kebaikan mesti ada saudara-saudara mereka yang mendukung dan mendorong dalam menuju sebuah kebaikan selanjutnya.
...
            Aku yang kini telah menjadikan dakwah sebagai kegiatanku sehari-hari, memberikan dakwah dalam majelis-majelis ta’lim, dan datang ke desa-desa tetangga untuk memberikan tausiah, semua itu tak mudahm sebelumnya tak begini, awal-awal aku lulus dari pondok dan merasakan dunia dakwah yang sesungguhnya, aku mendapati berbagai tentangan dari masyarakat sekitar ku,
“bisa apa anak orang miskin yang tak tahu apa apa itu?”,
“palingan dia hanya lulusan pondok yang abal-abal begitu, tak jelas guru nya siapa.”,
“atau jangan-jangan dia berguru pada orang yang tak tahu apa-apa tapi sok tahu masalah keagamaan.” desas-desus tetangga yang mereka pun sebenarnya tak tahu apa-apa sering terdengar, yang kadang kala membuat ku ingin pergi dan berdakwah di tempat lain saja.
Namun ayah selalu percaya padaku, bahwasanya tanggung jawab kita itu pertama dalam berdakwah adalah untuk keluarga, lalu orang-orang sekitar kita, baru kamu bolehlah jamah semua orang di dunia, karena itu akupun tak terhentikan untuk menyebar ilmu yang aku miliki, hari demi hari aku lalui, tanpa henti dan dengan sabar dan perlahan aku merangkul mereka, saat jama’ah ku yang hanya berjumah 3 orang, itupun kakek-kakek tua renta yang memang sering berittiqaf di masjid, lambat laun dan sampai kini jumlah nya sudah lumayan untuk memenuhi kas masjid, yang akan berguna untuk perawatan dan perbaikan masjid tersebut, setidaknya membeli beberapa mukena untuk jama’ah yang biasa nya mampir jika mereka sedang ada di perjalanan, itu masih cukup, atau sekedar mengecat tembok masjid saja itupun masih cukup. Satu pesan ayahku untuk kami anak-anak nya,
“teruslah berjuang meraih gelar dunia karena itu perlu, namun jangan sampai kamu lalai menggapai akhiratmu” dan kalimat itu akan menjadi pemicu semangatku untuk mewujudkan apa-apa yang menjadi impian ayahku yang kini sudah menjadi bagian dari impian saudara-saudaraku juga.
...
            Kakak ku yang ke empat tak sempat mengikuti jejak adik-adiknya masuk pondok, namun dia memilih mengejar beasiswa untuk berkuliah di suatu unversitas negeri, ia mendapat gelar sarjana ekonomi selang setahun setelah adik keenam ku mengikuti jejak ku masuk pesantren, butuh waktu yang lama memang ia dapatkan beasiswa yang ia harapkan, namun perjuangannya tidak sia-sia, beasiswa yang ia kejar dengan susah payah kini telah usai dan ia telah menyandang gelar sarjana ekonomi dengan predikat cumlaude, ayah tidak pernah sama sekali membayangkan anaknya dapat bersekolah tinggi tanpa membebani dirinya sedikitpun, namun kakak ku membuktikannya bahwa ia bisa membanggakan kedua orang tuanya dan mengangkat derajat mereka.
            Sedangkan kakak-kakakku yang saat dulu memilih bekerja dan hanya sekolah sampai SMP, mereka kini telah menikah dengan seseorang yang cukup baik kehidupannya, meskipun kakak-kakak ku yang tidak sempat merasakan indahnya menimba ilmu di pondok tapi mereka tidak sedikitpun merasa semua nya  telah terlambat, mereka belajar ilmu-ilmu agama itu dari adik-adiknya yang kini telah dan sedang berjuang menyebarkan ilmu di jalan Allah.
...
            Ayah yang kini tak terlihat kucuran keringatnya dan senyuman serta kata-kata penyemangatnya sudah pergi dengan damai, kini yang terlihat hanya tanah rata dengan nama diatasnya, beserta gelar abadinya Alm. Dan karena impian ayahku dulu yang telah menjadi impian aku dan adik-adiku kini dan sedikit banyak nya telah terwujud, berkat  mimpimu ayah kami sadar keterbatasan ini bukan halangan untuk menggapai sesuatu yang dianggap ketidakmungkinan, kini engkau telah pergi dan merasakan kedamaian yang sesungguhnya.
Aku berbisik dalam hati, “aku kini tak sendiri ayah, adik-adik disini juga telah memilih mengemban amanah yang sama untuk berdakwah dan menjalin ukhuwah.” ada satu pertanyaan dalam benakku, “apakah kau puas dengan pencapaian kami ayah? semoga jawabannya iya.”
*ENIGMA : RAHASIA

Komentar